Demo Saja Tidak Cukup
Yang terjadi di Myanmar menunjukkan bahwa unjuk rasa saja tidak cukup untuk menggulingkan sebuah rezim yang berkuasa. Apalagi, jika rezim yang berkuasa itu begitu kuat menekan.
Kunci sebenarnya adalah bagaimana memunculkan ketidakstabilan rezim yang dilawan. Dan itu gagal ditunjukkan para pengunjuk rasa di Myanmar. Yang terjadi kemudian adalah junta militer semakin solid dan pengunjuk rasa semakin lemah karena terus mendapat tekanan.
Para pengunjuk rasa dan aktivis prodemokrasi Myanmar seharusnya belajar pada sukses aksi-aksi demo lain yang sukses menggulingkan pemerintahan otoriter. Itu tidak cukup hanya dengan aksi unjuk rasa besar-besaran.
Yang juga diperlukan, ada pemimpin oposisi dengan ide cemerlang yang bisa diandalkan rakyat. Yang tidak kalah penting, kemampuan memanfaatkan media massa dalam bentuk tertentu demi menyalurkan pesan. Yang terakhir itulah yang sudah diendus junta militer Myanmar. Sehingga, mereka buru-buru menghambat akses informasi.
Juga, diperlukan pengacauan soliditas rezim yang menjadi target dari dalam. Pengalaman membuktikan bahwa kombinasi dari faktor-faktor tersebut biasanya merujuk pada kesuksesan.
Contohnya, yang terjadi di Eropa Timur pada 1990-an. Saat itu, beberapa faktor terlibat. Ada demo, pemerintahan komunis sedang lemah, tokoh reformasi bermunculan, Uni Sovyet di bawah Mikhail Gorbachev menarik dukungannya, dan pasukan keamanan lokal beralih pendapat.
Meski demikian, di Uzbekistan pada 2005, demo di Kota Andijan tidak berhasil sukses karena mereka tidak membuka masuknya pengaruh yang lebih besar untuk terlibat. Selain itu, di Tiongkok pada 1989, demostran demokrasi di Tiananmen Square akhirnya dilumpuhkan kekuatan militer karena pemerintah sulit tertembus.
Sementara di Myanmar, demonstran menghadapi pemerintah militer yang keras kepala. Mungkin, elemen pasukan militer bakal memberontak dan menjatuhkan kekuasaan lama, tetapi itu belum terjadi. Sedangkan, rezim sudah menghalangi media, termasuk fenomena berita di Internet. Padahal, internet menjadi instrumen penting demi mendulang opini di luar negeri.
Tekanan eksternal, dalam bentuk kecaman dunia internasional dan sanksi, tidak cukup kuat untuk menambah tekanan. Selain itu, tidak seluruh negara memberikan porsi yang sama atas apa yang berlaku di Myanmar.
Misalnya, di TV satelit, tayangan mengenai Myanmar di Eropa dan Amerika Serikat (AS) mampu menarik perhatian. Itu menunjukkan bahwa kebijakan politik luar negeri di pemerintahan barat dipengaruhi organisasi non-pemerintahan, kelompok HAM, dan selebriti. Di Prancis, artis Jane Birkin diwawancarai mengenai Myanmar dan esok harinya, delegasi khusus menemui Presiden Prancis Nicolas Sarkozy demi memberikan pendapatnya mengenai Myanmar.
Namun, di Tiongkok tidak ada hal seperti itu. Hampir seluruh media mengabaikan krisis di Myanmar. Pada sepuluh menit pertama, tayangan berita selalu berisi berita mengenai pemerintahan. Pemerintahan Beijing juga tidak terpengaruh dengan kelompok HAM. (bbc/tia)
Sulitnya Aktivis Prodemokrasi Gulingkan Junta Militer
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar