Militer adalah Orangtua

Militer Myanmar sepertinya begitu kejam dan tega membantai rakyat sendiri. Pertanyaannya adalah bagaimana para jenderal yang memimpin junta militer itu membujuk dan meyakinkan serdadunya bahwa membunuh rakyat adalah tindakan benar.

"Siswa akademi militer mendapat pelatihan selama empat tahun. Bagi mereka, tidak ada orang tua lain. Militer adalah orang tua mereka," kata Maung Zarni, mantan aktivis Myanmar. Dan latihan militer yang mereka jalani, menurut Zarni, setara dengan Sandhurst di Inggris atau West Point di Amerika Serikat.

Rezim militer sendiri secara diam-diam membentuk Dewan Keamanan Negara dan Pembangunan (SPDC) yang terdiri atas 12 jenderal. Mungkin, penunjukan itu dilakukan di balik pintu, tetapi komposisi jenderal di SPDC selalu diumumkan di hadapan publik.

Saat ini, junta militer dijalankan tiga jenderal top. Nomor tiga adalah Soe Win, komandan kejam yang diyakini menjadi otak untuk membunuh golongan oposisi beberapa waktu lalu. Saat ini, Soe Win dikabarkan mengalami sakit parah dan dirawat di Singapore General Hospital, Singapura.

Jenderal kedua adalah Maung Aye, tokoh garis keras yang menentang segala bentuk diskusi dengan golongan oposisi pro-demokrasi. Jenderal tertinggi mereka adalah Jenderal Senior Than Shwe, drop-out sekolah menengah atas dan mantan juru tulis kantor pos yang menanjak dari rak militer dalam kampanye dan ahli perang psikologi.

Aung Zaw, salah satu aktivis yang diasingkan, menghabiskan bertahun-tahun untuk mendapatkan informasi tepercaya mengenai Than Shwe yang saat ini berusia 74 tahun dalam menjalankan pemerintahannya. "Saat rapat kabinet, Than Shwe jarang berbicara, namun dia mendengarkan semua hal secara intensif. Dan, dia akan memutuskan sesuatu," kata Aung Zaw.

David Steinberg dari Georgetown University, Washington, AS, memiliki beberapa pemikiran mengenai ide misi ketiga jenderal Myanmar. "Saya pikir, mereka berpikir bahwa mereka adalah penyelamat negara. Negara bakal hancur tanpa kekuatan militer," ujarnya.

Mungkin, karena itu juga jenderal-jenderal tersebut tidak hanya brutal, picik, dan terus kaya. Ketika sebagian besar rakyat hanya mendapatkan USD 1 (setara dengan Rp 9.000) per hari, pemimpin top Myanmar mendapatkan sokongan dari semua bisnis utama di negeri yang kaya sumber daya alam itu.

"Rakyat mengeluh mengenai suap yang harus mereka bayar. Pelaku bisnis akan masuk Myanmar dengan berbagai usaha, tetapi kemudian mereka menarik kembali investasi tersebut," kata Sean Turnell, editor Burma Economic Review.

Kesenjangan tersebut terasa makin menyakitkan ketika sebuah tayangan video perkawinan putrid Than Shwe beredar di internet tahun lalu. Rakyat Myanmar yang sengsara hanya bisa menyaksikan pesta pernikahan yang gemerlap dengan pengantin putri bergelimang perhiasan intan berlian dan menerima hadiah senilai lebih dari USD 51 juta.(bbc/tia)
Sumber: Jawa Pos, Selasa, 2/10/07

Tidak ada komentar: