Lee Sebut Jenderal Junta Bodoh

Pernah Sarankan Than Shwe Tiru Soeharto

Singapura memaksimalkan peran sebagai pemimpin negara ASEAN untuk terus menekan junta militer Myanmar. Setelah wakilnya di PBB mendesak adanya sanksi bagi pemerintahan militer Myanmar, kemarin giliran Menteri Mentor Singapura Lee Kuan Yew mengecam keras pucuk pimpinan junta, Jenderal Than Shwe.

Sebagaimana dilaporkan harian The Straits Times kemarin (10/10), bapak pendiri Singapura itu menyatakan, para pimpinan junta militer yang berkuasa 45 tahun tersebut terdiri atas para jenderal bodoh. "Mereka gagal memaksimalkan potensi ekonomi Myanmar. Padahal, negara itu diberkahi sumber daya alam luar biasa," ujar Lee, panggilan akrab Lee Kuan Yew, saat wawancara dengan kelompok kolumnis AS di kantornya.

Kegagalan kelompok jenderal mengembangkan potensi Myanmar itu, kata dia, akan membuat mereka tidak akan bertahan lama.

Lee menyebutkan, dirinya pernah memiliki hubungan baik dengan salah satu tangan kanan Than Shwe, yaitu Jenderal Khin Nyunt. "Dia adalah jenderal yang paling pintar dibandingkan lainnya. Saya sering bertukar ide dengan dia. Saya pernah mengatakan kepada dia agar para junta Myanmar meniru Soeharto (mantan presiden RI, Red)," ungkapnya.

Lee menjelaskan kepada Khin Nyunt, Soeharto sukses melepas citra militer, lalu membentuk sebuah partai besar bernama Golkar dan sukses memerintah dengan citra sebagai pemimpin dari partai sipil. "Sayangnya, di tengah jalan, Soeharto jatuh. Jadilah saran saya untuk Khin Nyunt, yang kemudian disampaikan kepada Than Shwe, dianggap sebagai nasihat yang menyesatkan," jelas mantan PM Singapura tersebut.

Akibatnya, Khin Nyunt ditangkap. Seluruh jabatannya dilucuti dan akhirnya dikenai tahanan rumah.

Meski mengecam junta militer, Lee menegaskan, upaya solusi atas krisis Myanmar harus melibatkan mereka. "Tentara harus menjadi bagian dari solusi atas Myanmar. Mereka mengontrol semua lini. Meninggalkan mereka berarti bersiap dengan solusi tanpa hasil," tegasnya.

Dia menceritakan, dirinya pernah merekomendasikan beberapa pengusaha untuk menanamkan modal di Myanmar beberapa tahun lalu. "Namun, saya menyesali rekomendasi saya. Sebab, setelah mereka menanamkan modal jutaan dolar di sektor perhotelan, kini yang mereka dapat hanya hotel yang melompong," ujarnya.

Dari Yagon, Myanmar, dilaporkan, Junta militer Myanmar mulai membuka pintu negosiasi dengan para biksu. Merespons sinyal positif itu, sejak Selasa lalu (9 Oktober), para biksu di Myanmar sepakat menghentikan aksi untuk berdialog dengan pemerintah di Naypidaw, ibu kota Myanmar.

Perwakilan biksu dipimpin U Yarzadana dari Yangon. Sedangkan junta militer diwakili Kolonel Than Shin, sekretaris pemerintahan. Pemerintah menjanjikan, setelah ada kesepakatan dengan para biksu, akan dilakukan juga dialog dengan tokoh demokrasi di Myanmar Aung San Syuu Kyi.

Pemimpin biksu di Mandalay U Wesaikta mengatakan, saat ini pihaknya menghentikan unjuk rasa di Mandalay sambil menunggu hasil negosiasi. "Kami beri deadline sampai Minggu 14 Oktober," kata U Wesaikta kepada Jawa Pos saat ditemui di wiharanya di Mandalay kemarin.

Di Mandalay, kota terbesar kedua setelah Yangon, pasca tertembaknya wartawan Jepang Kenji Nagai terus terjadi unjuk rasa. Setiap hari ratusan biksu di Mandalay berkumpul di Pagoda Maha Myat Muni, pagoda terbesar di Mandalay. Mereka juga berkeliling kota sambil membalik kuali atau mangkuk sebagai symbol menolak donasi dari pemerintah.

Tentara di Mandalay juga tidak kasar seperti di Yangon. Tetapi, wilayahnya dibatasi hanya di dalam kota Mandalay. Para biksu dilarang keluar dari kota Mandalay. Gerbang Mandalay dijaga ketat oleh tentara.

Pemerintah, tampaknya, sengaja memberikan angin kepada para biksu untuk bisa mengajak dialog. "Kalau 14 Oktober tidak ada kesepakatan, kami akan turun lagi ke jalan," ujar biksu berusia 50 tahun itu.

Saat ini, meski menyatakan jeda unjuk rasa, para biksu tetap melakukan aksi menolak donasi dari pemerintah. Setiap melalui kantor milik pemerintah, para biksu dan biksuni di Mandalay membalik mangkuk. Itu sebagai tanda bahwa mereka tidak menerima donasi dari kantor tersebut. Mereka juga menolak pemberian makanan, minuman, dan pakaian dari pemerintah.

Ada tiga tuntutan para biksu kepada pemerintah. Yaitu, pembebasan para biksu, penurunan harga, dan penegakan demokrasi. "Jika tiga tuntutan itu ditolak, kami akan turun lagi," katanya,

Perkembangan sementara, negosiasi berjalan alot. Para biksu ngotot pada tuntutannya. Namun, pemerintah menganggap tuntutan biksu berlebihan dan sudah mengarah pada gerakan politik. Pemerintah meminta para biksu sabar menunggu demokrasi di Myanmar.

Beberapa kali pemerintah mengumumkan ke publik melalui selebaran dan televisi bahwa pemerintah dan rakyat Myanmar sama-sama ingin membangun sendiri demokrasi baru di Myanmar tanpa campur tangan asing. Karena itu, fondasi demokrasi harus ditata terlebih dahulu.

Pemerintah juga meminta para biksu tidak memberikan dukungan kepada Aung San Syuu Kyi. Than Shwe menuduh Aung San Syuu Kyi adalah agen asing yang akan membawa kepentingan asing masuk Myanmar. Almarhum suami Aung San Syuu Kyi yang berkebangsaan Inggris dijadikan bukti tuduhan tersebut.

Junta militer, tampaknya, juga ingin mencari pembenaran bahwa Barat bermain di balik kekacauan di Myanmar. Biksu-biksu di Myanmar menceritakan, saat demo 27 September yang berujung kerusuhan, yang diperintah menembak adalah tentara dari Kachin, salah satu state di Myanmar.

"Saya melihat simbol di lengan tentara itu bukan tentara nasional. Mereka adalah tentara Kachin. Tentara dari Myanmar bagian utara itu beragama Kristen," kata salah seorang biksu di Yangon yang tidak mau disebut namanya dengan alasan keamanan.

Dengan menyuruh tentara Kachin menembak biksu, diharapkan muncul kesan ada kekuatan internasional -dalam hal ini Barat- yang menyokong penembakan biksu. Isunya sengaja dibawa menyerempet isu agama. "Tapi, kami tidak percaya. Tidak mungkin tentara Myanmar berani bertindak sendiri tanpa perintah Than Shwe," ujarnya.

Di Myanmar ada tujuh negara bagian (states), yaitu Chin, Kachin, Kyah, Kayin, Mon, Rahkine, dan Shan. Masing-masing memiliki tentara, namun di bawah koordinasi tentara nasional. Saat unjuk rasa biksu, tentara dari luar Yangon didatangkan.

Usaha lain pemerintah untuk memecah belah biksu adalah mereka menyebar biksu palsu ke Yangon dan Mandalay. "Anda jangan berbicara dengan sembarang biksu. Bisa jadi itu biksu palsu," kata U Wesaikta.

Biksu-biksu palsu itu disebar di pagoda-pagoda untuk mengesankan kegiatan para biksu berjalan normal seperti biasa. Dengan begitu, orang kembali mau berkunjung ke pagoda.

Para biksu di Mandalay saat ini menunggu berita dari Naypidaw. Mereka sudah siap untuk turun ke jalan secara besar-besaran seandainya perundingan gagal. Aksi unjuk rasa akan disiapkan di Mandalay dan Yangon.

Pihak pemerintah juga tidak kalah gesit. Pemerintah telah menyiapkan aksi projunta secara besar-besaran di Yangon pada Sabtu 13 Oktober 2007. Sejumlah kantor dan organisasi di Yangon sudah dihubungi pemerintah untuk menyiapkan diri mengikuti rapat akbar mendukung pemerintahan Than Shwe.

Seminggu terakhir, pemerintah giat menggelar aksi tandingan para biksu di berbagai kota. Di antaranya di Kachin, Myingyan, Pyawbe Township, Taunghta, Kanbalu, Shwebo, dan Yamethin. Pegawai negeri diwajibkan ikut dalam aksi tersebut. Mereka membawa poster bertulisan Beware of rumors of BBC and VOA, RFA Setting up hostilities, We don’t want provocation of foreign countries dan we don’t accept neo colonialism.

Tayangan unjuk rasa projunta itu diulang-ulang di stasiun TV Myanmar MRTV. Sehari bisa disiarkan ulang hingga lima kali. Selain itu, pemerintah melalui koran dan televisi lokal juga mengimbau para wartawan asing yang masih berada di Myanmar segera meninggalkan negara tersebut.(afp/*)
Sumber: Jawa Pos, Kamis, 11 Okt 2007

Tidak ada komentar: