Junta Militer Myanmar dan Gerakan Kaum ”Sufi”

DEMONSTRASI damai menolak kenaikan harga BBM yang dilakukan ribuan Biksu dan rakyat Myanmar dibalas dengan popor senjata dan peluru oleh Junta Militer, dikabarkan 9 orang tewas dalam peristiwa Kamis 27 September.

Membaca kejadian ini, teringat kembali peristiwa 10 tahun lalu di Indonesia, yaitu 1997-1998, ketika masih di bawah kekuasaan militer Jenderal Soeharto, setiap demontrasi menentang kebijakan pemerintah selalu dihadapi popor senjata, selalu represivitas.

Perlawanan umat Islam terhadap pemerintah dihadapi peluru sehingga terjadilah peristiwa Tanjung Priok. Perlawanan kelompok nasionalis dihadapi dengan “popor” tentara berseragam sipil, seperti pada peristiwa 27 Juli 1997. Protes kaum intelektual, mahasiswa dihadapi dengan peluru, terjadilah peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, begitu seterusnya.

Rakyat Indonesia sangat paham betul kondisi ketakutan yang dialami rakyat Myanmar saat ini, sama seperti yang dialami rakyat Indonesia selama 32 tahun.

Maka wajar saja, jika peristiwa represif Junta Militer Myanmar disikapi secara responsif oleh rakyat Indonesia, baik melalui kecaman, doa, hingga demontrasi di setiap kantor Kedubes Myanmar. Sikap responsif dilakukan tanpa tedeng aling-aling, apakah di dalam “tragedi Biksu” itu terdapat konspirasi politik internasional atau tidak?

Gerakan Biksu di Myanmar sebenarnya merupakan gerakan yang jarang sekali terjadi. Biksu secara kategori seperti kaum Sufi, tidak mementingkan kehidupan duniawi, demi mengejar kesejahteraan Nirwana atau akherat di dalam Islam.

Meskipun didemo kaum sufi (Biksu), Junta militer bergeming, terbukti dengan represivitas yang dilakukan Junta terhadap aksi ribuan Biksu dan rakyat Myanmar. Junta militer Myanmar termasuk seakan tidak peduli dengan tekanan asing, seperti Amerika, negara-negara Eropa, apalagi Asia Tenggara.

Pascabentrokan ini, PBB memutuskan untuk mengirimkan duta khusus PBB ke Yangon, Myanmar untuk berdialog dengan Jenderal Than Shwee dan mendesak agar membangun dialog konstruktif dalam mengatasi demontrasi Biksu.

Tentu saja, setelah masalah Nuklir Iran. Krisis politik di Myanmar akan menjadi perhatian masyarakat internasional. Kita lihat saja nanti, apakah Myanmar akan menjadi seperti Indonesia, di mana pemerintahan militer mengundurkan diri setelah melihat desakan yang semakin meluas.

Ataukah, akan tetap bertahan dan mempertahankan pola represivitas terhadap segala bentuk protes terhadap pemerintah. Kita lihat saja nanti!

Tidak ada komentar: