Catatan Damai Ibnu Suwondo, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah, Surakarta
Menarik mencermati perkembangan akhir-akhir ini di negara Myanmar. Negara yang dikuasai junta militer itu, kini tengah goncang. Junta menghadapi aksi ribuan massa menuntut demokrasi. Tapi, junta menghadapinya dengan moncong senjata.
Dari pengalaman di masa lalu di mana junta membantai sekitar 3000 demonstran, pembantaian serupa bukan mustahil kembali terulang. Kalau itu terjadi, saya kira itu pantas disebut "tragedi kemanusiaan".
Dengan kekuasaan 45 tahun, mungkin saja junta berhasil mengatasi aksi-aksi demonstrasi rakyat. Kekerasan militer bisa jadi efektif meredam aksi-aksi itu. Rakyat juga punya rasa takut, meski menginginkan diktator digulingkan. Tapi, kenapa kekuasaan harus dipertahankan dengan mengorbankan rakyat banyak? Benarkah tindakan sadis menyelesaikan masalah?
Tidak ada yang bisa kita lakukan dari sini, selain doa bagi kebaikan rakyat Myanmar. Selain itu, anjuran agar junta militer mau mendengar suara hati nuraninya.
Namun, saya kira, kita perlu merenungi sejarah Myanmar. Pertama, bahwa kekuasaan yang dijalankan secara diktator pasti lambat-laun mendapat tentangan. Kedua, menghadapi tuntutan atau menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan senjata pasti tak disukai. Ketiga, menakut-nakuti rakyat dengan tindakan sadis dan kejam hanyalah menunda persoalan, bahkan menimbulkan persoalan baru. Keempat, kelima dan seterusnya, silakah renungi sendiri.
Junta, Dengarkan Hati Nuranimu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Doa itu... bagian kecil dari harapan-harapan. Semestinya para penguasa di Myanmar sadar akan peran dan tanggungjawab kepenguasaannya. Rakyat semestinya terus melangkah untuk mencari keadilan. Dan semestinya para pecinta keadilan bergerak untuk terwujudnya tatanan yang berkemanusiaan. Hingga ketidakadilan Mynmar terbuka.. dan melahirkan kesadaran keadilan, sampai tidak ada lagi penindasan..
Posting Komentar