Indonesia Pasif, Junta Lolos Sanksi

Sidang Dewan Keamanan PBB Hanya Mengutuk Kekejian Junta

PBB kembali gagal membantu rakyat Myanmar melepaskan diri dari cengkeraman junta militer. Sidang lima belas negara anggota Dewan Keamanan (DK) PBB, termasuk Indonesia, hanya menghasilkan rancangan pernyataan kecaman terhadap junta militer. Tidak seperti resolusi, pernyataan tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan demikian, DK PBB tak bisa menerapkan sanksi jika pernyataannya diabaikan junta militer.


Rancangan yang diprakarsai Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis tersebut berisi kecaman terhadap tindakan junta militer dan meminta mereka membebaskan tahanan politik serta memulai dialog dengan pihak oposisi. Rancangan itu dibuat setelah Dewan Keamanan mendengarkan laporan utusan khusus PBB, Ibrahim Gambari, Jumat (5/10) pagi. Para diplomat menyatakan, rancangan tersebut akan dibahas Senin, yang memungkinkan adanya perubahan.

Dalam draf itu ditulis, DK PBB mengutuk kekerasan atas aksi damai dan mengimbau agar pemerintah menghentikan langkah-langkah represif. Rancangan pernyataan Dewan Keamanan tersebut telah disetujui seluruh anggota, termasuk Tiongkok, yang pada masa lalu selalu menghalangi PBB bertindak terhadap Myanmar. Kesediaan Tiongkok menyetujui kalimat-kalimat keras tersebut diharapkan akan memengaruhi junta.

Sebelumnya, Tiongkok dan AS berdebat soal apakah masyarakat internasional harus bertindak melalui DK PBB. Beijing bersikeras krisis kekerasan terhadap biksu tersebut merupakan masalah dalam negeri Myanmar.

Duta Besar AS untuk PBB Zalmay Khalilzad dalam sesinya menunjukkan ketidaksabaran AS atas mandulnya DK PBB menghasilkan sanksi bagi Myanmar. "Sekarang adalah waktu bagi DK PBB untuk melakukan sesuatu lebih dari sekadar duduk dan mendengarkan brifing," tegas Khalilzad merujuk pada acara brifing utusan khusus PBB Ibrahim Gambari sebelumnya. Upaya mendorong sanksi lebih keras terhadap junta militer juga didukung Dubes Inggris untuk PBB John Sawers.

Pernyataan dua negara berpengaruh di PBB itu disanggah wakil Tiongkok. Dubes Tiongkok untuk PBB Wang Guangya menganggap masalah di Myanmar tidak berpotensi membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. "Tekanan-tekanan yang diberikan kepada Myanmar tidak membantu bangsa tersebut mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi," tegasnya.

Selain ketiga negara itu, tidak banyak pendapat dari negara lain yang hadir, termasuk Indonesia serta dua negara bukan anggota DK PBB, yaitu Myanmar dan Singapura, yang hadir dalam kapasitas sebagai pemimpin ASEAN. Negara-negara peserta pertemuan pasif itu cenderung mendukung langkah diplomasi Gambari. Diplomat senior asal Nigeria itu diminta kembali ke Myanmar secepatnya.

Sekjen PBB Ban Ki-moon menyatakan, Gambari akan kembali ke Myanmar pertengahan November. Dubes Singapura di PBB Vanu Gopala Menon menekankan agar upaya diplomasi lanjutan Gambari melibatkan kelompok militer. "Militer adalah kelompok kunci di Myanmar, tanpa mereka, maka tak pernah ada solusi," tegasnya.

Dubes Myanmar di PBB U Kyaw Tint Swe menganggap pernyataan Menon itu dalam kapasitas sebagai wakil Singapura, bukan representasi ASEAN.

Terkait pasifnya pemerintah Indonesia dalam pembahasan krisis Myanmar di DK PBB, Direktur Kerja Sama dan Pelucutan Senjata Internasional Departemen Luar Negeri (Deplu) Desra Percaya mengatakan, Indonesia sedang menunggu komitmen pemimpin tertinggi junta militer Myanmar Jenderal Than. "Tidak benar kalau kita tidak punya sikap," tegasnya saat dihubungi kemarin.

Menurut pejabat Deplu yang ikut hadir dalam pertemuan informal DK PBB Rabu (3/10) di New York itu, Indonesia menunggu laporan utusan khusus Sekjen PBB Ibrahim Gambari tentang kondisi terakhir di Myanmar. "Kita tidak ingin tergesa-gesa mengambil keputusan karena laporan Gambari akan diungkapkan pekan depan," lanjut alumnus Unair itu.

Dari laporan itu, sambung Desra, baru sidang DK PBB membuat opsi soal resolusi Myanmar. Isi resolusi tersebut bisa berupa rekomendasi untuk pemerintah junta atau sanksi untuk meredakan kekerasan yang dilakukan junta terhadap rakyat yang prodemokrasi.

"Kita juga belum tahu apa isi resolusi soal Myanmar tersebut. Makanya kita belum tentukan sikap. Tapi, prinsipnya Indonesia ingin junta segera mengakhiri kekerasan dan membuka jalan untuk demokrasi," tegas pria berkacamata itu.

Ketika ditanya di pihak manakah Indonesia mengambil opsi tentang Myanmar, Desra mengaku tidak di pihak AS maupun Tiongkok. "Kita tetap yakin sanksi tidak bisa menyelesaikan konflik suatu negara seperti halnya Iraq. Tapi, kita juga tidak ingin HAM dan demokrasi terus dilanggar," bebernya. Posisi Indonesia, lanjut Desra, juga akan ditentukan setelah pemerintah junta militer Myanmar mau diajak berdialog. "Nada-nadanya berdasarkan laporan informal Gambari, Than Swe bersedia dialog," sambungnya.

Disinggung soal kevokalan Singapura dalam sidang informal DK PBB Rabu (3/10) lalu, Desra membenarkan. "Singapura memang bersuara sangat vokal terhadap kekejaman rezim junta. Tapi, jangan lupa negara itu membawa suara ASEAN secara keseluruhan," katanya. Intinya, lanjut bapak dua anak itu, sebagai negara yang juga anggota ASEAN, Indonesia pun memiliki sikap yang sama keras dengan Singapura.(afp/ap/rtr/nue)
Laporan Tim Jawa Pos dari Myanmar
Sumber: Jawa Pos, 7/10/07

Tidak ada komentar: