Esai Muhammad Al-Fayyadl
Siddharta, percakapan kita hari ini adalah percakapan bisu di antara dua hati yang berbeda. Kau orang suci, yang setiap hari merenungkan yang-ilahi. Dalam setiap desah napasmu, kau mengingat-Nya, memuja-Nya. Sedangkan aku bukan siapa-siapa. Aku bukan seorang santo sepertimu. Aku hanya seseorang yang ingin berbagi kepadamu tentang kerisauanku melihat dunia hari ini. Maukah kau mendengarku, Siddharta? Aku akan bercerita dalam diam.
Dunia hari-hari ini begitu berbeda dengan duniamu dua-enam abad lalu. Entah seperti apa duniamu dulu. Tapi kubayangkan, dalam hidupmu dulu tak begitu banyak orang yang serakah. Dua-enam abad lalu, dunia mungkin masih berjalan dengan indahnya. Semilir angin dan dunia yang terhampar hijau masih mudah engkau saksikan. Keramahan, canda tawa, dan kasih sayang masih terdengar indah di masa hidupmu. Di dunia yang tenang itu, kau menemukan Kebajikan dan Keindahan yang kau rindukan. Di dunia itu, kau menemukan nirvana.
Sekarang, Siddharta, situasi telah berubah. Jika kau hidup sekarang, semakin jarang kau temui lagi semilir angin dan pemandangan hijau yang biasa kau lihat dulu. Kota-kota telah berkembang dengan pesatnya. Mereka yang menjalani hidup bertapa sepertimu, menjauh ke tempat-tempat terpencil. Kami hidup di zaman modern di mana manusia, jika tak serakah dan egois, akan sulit bertahan. Di dunia ini, Siddharta, kau menyaksikan kesengsaraan dan kesemena-menaan begitu banyak merajalela…
***
Dan hari ini, Siddharta, lebih dua ribu tahun setelah engkau pergi, seharusnya kami bisa melihat dunia yang lebih baik. Dunia yang pernah melahirkan manusia-manusia luhur sepertimu. Tapi, apa lacur, sepertinya kami harus memendam dalam-dalam impian itu.
Di sini, di Asia, tempat engkau pertama kali mendakwahkan kebajikan, angkara murka dan kesemenaan masih kuat bertakhta. Padahal dua ribu tahun lalu, di benua ini, di benua yang juga lahirkan para nabi dan rasul, telah engkau suarakan pentingnya kedamaian. “Nafsu dan amarah,” katamu, “adalah sumber nestapa”.
Tapi orang-orang tak hirau, Siddharta. Di Burma hari ini, di negeri yang memujamu jiwa-raga, ratusan orang dibunuh, ribuan diculik, dan sekian ribu lainnya terluka. Mereka dibunuh karena mereka menolak mengakui sebuah rezim yang tak mengindahkan suara rakyatnya sendiri. Mereka diculik karena sang rezim tahu bahwa mereka benar.
Siddharta… kau tahu, siapa yang menggerakkan itu semua? Mereka, pengikutmu, para biksu dan biksuni. Mereka turun ke jalan dan mengetuk hati dunia untuk menggugat penindasan yang dilakukan pemerintah Burma. Sejak dua minggu terakhir, mereka berdemonstrasi memprotes kebijakan pemerintah. Mereka ingin pemerintah sadar akan kesalahannya.
Aku sejujurnya tak habis pikir, Siddharta, kekuatan apa yang membuat mereka tergerak sedemikian rupa. Para biksu dan biksuni itu adalah para pertapa yang menjauh dari dunia. Mereka mencintai kemiskinan dan keheningan. Mereka hidup untuk beribadah dan berdoa.
Tapi, mereka juga turun ke jalan. Mereka peduli pada penderitaan orang-orang. Kekuatan apakah yang menggerakkan mereka hingga mereka berbuat begitu? Kekuatan cinta-kah, Siddharta?
Aku pernah ingat salah satu ucapanmu, salah satu pesanmu kepada para pengikut setiamu: “Jadilah orang yang penyabar, berbela rasa, dan penuh cinta”. Inikah yang menggerakkan mereka hingga mereka berani bertaruh nyawa hanya demi berbakti kepada orang lain?
Tapi, Siddharta, ingin kukabarkan kepadamu bahwa para biksu-biksuni itu telah banyak terbunuh. Mereka tak hanya berani mati; mereka benar-benar mati. 26 September kemarin, darah tumpah di pagoda. Tempat-tempat berdoa dalam sekejap telah berubah menjadi altar pembantaian. Di pagoda, mereka dulu memujamu. Kini di pagoda, mereka menjemputmu ke atas nirvana.
Mereka menjadi martir, Siddharta, demi bangsanya sendiri. Kau pernah mengajarkan bahwa tak ada yang sia-sia di dunia ini. Kesengsaraan akan membawa kebahagiaan, dan kematian akan membawa kehidupan. Mereka menjadi martir, Siddharta, karena mereka sadar bahwa ajaranmu benar. Mereka ingin mati demi ber-bhakti kepada umat manusia, sebagaimana dulu engkau ber-bhakti kepada orang-orang miskin di kerajaanmu.
Siddharta… kami tak tahu berapa banyak lagi yang akan terbunuh besok. Kami tak dapat menghitung berapa banyak lagi darah yang akan tumpah hanya demi sebuah nafsu dan angkara murka. Kami tak tahu, dengan cara apa kami menyelamatkan mereka yang kelaparan dan ketakutan. Kami tak tahu, dengan cara apa kami mengusir semua kegelapan ini.
Yang kami tahu, Siddharta, besok engkau tak akan lagi bersemadi. Engkau akan turun dari nirvana, menemui mereka yang sengsara. Yang kami tahu, Siddharta, engkau akan meniupkan kembali kedamaian untuk mereka yang ketakutan.
Siddharta… apakah kau mendengar kami di sana? Maukah kau mendengar kami? ***
Nirvana (Surat untuk Siddharta Gautama)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar