Junta Tahan Lima Jenderal dan 400 Tentara

Tolak Perintah Tangkap Biksu

Tidak seluruh tentara Myanmar menuruti mentah-mentah perintah pemimpin junta militer. Seorang pejabat pemerintah yang ditemui Jawa Pos di Provinsi Shan, Myanmar, kemarin mengungkapkan, setidaknya ada lima jenderal dan 400 tentara yang ditahan oleh junta militer.

"Hal tersebut terjadi pekan lalu," ujar sumber yang menolak disebutkan namanya karena takut keamanannya terancam. Dia bercerita bahwa para jenderal dan ratusan tentara tersebut ditahan karena menolak perintah untuk menembak biksu. "Saat itu, mereka ditugasi menumpas demonstrasi di Sikai Division (dekat Mandalay, Red)," lanjutnya.

Pejabat tersebut bercerita, ketika berhadapan dengan sekitar 500 biksu, tiba-tiba saja para tentara tersebut meletakkan senjata, kemudian duduk bersimpuh menyembah para biksu tersebut. Tentu saja, junta tidak menoleransi kejadian tersebut. "Semua langsung ditahan. Namun, saya tidak tahu lokasi penahanan mereka. Semua serbarahasia. Saya mendapatkan kabar tersebut dari atasan saya," ucapnya.

Masih menurut pejabat tersebut, biksu tetap merupakan sebuah entitas yang sangat dihormati di Myanmar. "Kalau sudah menembak biksu, berarti tentara sudah tidak menghargai apa pun lagi," paparnya. Selain itu, pejabat tersebut mengatakan bahwa juga ada seorang pejabat pemerintah di Yangon yang ditahan karena demonstrasi tersebut.

Dari Yangon dilaporkan, masih terjadi penangkapan dan penyerangan kemarin. Hal tersebut terjadi di Kuil Maggin, kawasan Thingangyun. Menurut sumber di kelompok pembela tahanan politik (Assistance Association for Political Prisoners/AAPP ) di Yangon, penyerangan tersebut berlangsung pada pukul 21.00 hingga tengah malam. "Itu serangan keempat terhadap kuil tersebut selama beberapa waktu terakhir," kata Joint Secretary AAPP Bo Kyi. Sekitar empat biksu kembali ditahan.

Tentara SPDC (State and Peace Development Council, demikian junta menamakan dirinya, Red) juga mengambil sejumlah dokumen yang tidak diketahui isinya dan sejumlah kecil uang donasi untuk kuil. Kuil Maggin merupakan kuil yang juga menyediakan perawatan untuk pasien HIV/AIDS.

"Yang memprihatinkan, dalam penyerangan pertama 26 September lalu, seluruh pasiennya (sekitar 15 orang) dipindahkan ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi Wai Bar Gi di kawasan Okkalapa Utara. Kami khawatir kalau tidak ditangani dengan benar, kondisi mereka menjadi lebih parah," kata Bo Kyi.

Pagi sebelum penyerangan Senin malam lalu, junta melepaskan sejumlah orang yang ditangkap pada penyerangan pertama pada 26 September. Mereka yang dibebaskan adalah U Kayu, sesepuh kuil tersebut yang berusia 84 tahun, beserta dua muridnya, Sayardaw U Indaka dan U Nandiya. Dua orang sipil lain juga dibebaskan, yakni Aung Zaw Win dan seorang yang tidak diketahui identitasnya.

Sebelumnya, mereka ditahan di Institut Teknik Pemerintah di Insein. Menariknya, Bo Kyi mengatakan bahwa tentara juga merampas uang donasi kuil sebesar 360 ribu kyats (sekitar Rp 2.394.000, satu kyats setara dengan Rp 6,6). "Selain itu, mereka (tentara, Red) tampaknya juga mencari bukti-bukti fisik yang dapat dipergunakan untuk menjerat para biksu tersebut," imbuhnya. Sekarang, Kuil Maggin hanya ditinggali oleh dua biksu, sembilan biksu pemula, dan seorang pengurus rumah tangga.

Di bagian lain, kemarin junta militer juga menangkap tiga orang pentolan ABFSU (All Burmese Federation of Students’ Union), sebuah organisasi perlawanan mahasiswa yang cukup berpengaruh di Yangon. Ketiga pentolan yang ditangkap tersebut adalah Ko Kyaw Ko Ko, Ko Sithu Maung (mempunyai nama alias Yar Pyit) dan Ma Han Ni Oo. Mereka ditangkap sekitar pukul 3dini hari kemarin.

Mereka ditangkap di sebuah rumah persembunyian di pinggiran Kota Yangon. "Saat itu, ada sekitar 15 orang anggota ABFSU yang bersembunyi. Kemudian, tiba-tiba satu truk tentara dan dua mobil polisi mendatangi rumah tersebut," papar Bo Kyi.

Dia juga melansir penangkapan lain di Yangon. Sekitar sepuluh pemuda yang tinggal di Pabedan, Yangon, ditangkap polisi Minggu (7/10) malam lalu. "Tanpa alasan yang jelas, polisi langsung saja menangkap dan menuduh mereka semua terlibat demonstrasi damai 27 September lalu," paparnya.

Sementara itu, pembahasan krisis Myanmar di sidang Dewan Keamanan (DK) PBB masih jalan di tempat. Tiongkok, salah satu anggota tetap DK PBB, meminta perhalusan bahasa dalam teks pernyataan kecaman yang dikeluarkan DK PBB atas kekerasan berdarah di Myanmar kemarin.

Draf pernyataan kecaman terhadap kekerasan junta militer Myanmar itu disusun oleh AS, Inggris, dan Prancis setelah DK PBB mendengar laporan Utusan PBB untuk Myanmar Ibrahim Gambari Jumat (5/10). Kemudian, pada Senin (8/10), pakar-pakar dari 15 anggota tetap dan tidak tetap di DK membahasnya guna mencapai konsensus soal bahasa pernyataan.

Draf awal menyatakan mengecam "represi keras terhadap demonstrasi damai" dan mendesak penguasa Myanmar untuk "menghentikan tindakan represifnya" serta membebaskan seluruh tahanan politik, termasuk tokoh oposisi Aung San Suu Kyi.

Tiongkok yang didukung sejumlah anggota DK meminta penggantian kata "mengecam" dengan "sangat menyesalkan". Tiongkok juga menolak formulasi rinci mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan rezim Myanmar untuk mengatasi krisis itu. (afp/ap/*)
Sumber: Jawa Pos, Rabu, 10 Okt 2007

Tidak ada komentar: