Keputusan DK PBB Perlemah Gerakan Demokrasi
Kelompok oposisi antijunta militer Myanmar menyatakan kecewa atas hasil yang dicapai Dewan Keamanan PBB. Sebab, dalam sidang Jumat lalu (5/10), DK PBB tidak mengeluarkan resolusi dan "hanya" mengutuk junta militer untuk menghentikan sikap kerasnya terhadap demonstran, melepaskan tahanan politik, dan segera melakukan rekonsiliasi nasional.
Juru Bicara National Coalition Government (NCG) of the Union of Burma Zinn Linn mengatakan, sebenarnya pihaknya sudah menduga hal tersebut. "Namun, tetap saja kami merasa kecewa. Sebab, pernyataan tersebut tidak mengimplikasikan tindakan apa pun," kata Zin Linn ketika dikonfirmasi mengenai hal itu.
Joint Secretary AAPP (Assistance Association for Political Prisoners), sebuah kelompok yang didirikan mantan tahanan politik Myanmar yang melarikan diri ke Mae Sot, Thailand, Bo Kyi mengatakan bahwa hal tersebut sama dengan memperlemah gerakan prodemokrasi di Myanmar. "Ini sama saja kami dibiarkan berhadapan sendirian dengan junta militer," ucap Bo Kyi.
Bo Kyi mengungkapkan, sudah terlalu lama rakyat Myanmar menderita di bawah rezim yang lalim. "Tentu saja kalau berhadapan secara frontal, kami tak akan menang. Sebab, mereka (junta, Red) mempunyai senjata," tandas Bo Kyi. Selain itu, dia mengkhawatirkan nasib ribuan tahanan politik, termasuk para biksu, yang ditangkap dalam gelombang penangkapan hingga kemarin.
Juru Bicara Burma Issues (sebuah kelompok perlawanan yang bergerak di bidang penyatuan antaretnis di Myanmar, Red) Thauw Nie Thoo juga menyayangkan keputusan DK PBB tersebut. "Kami (kelompok antijunta, Red) sudah digencet habis-habisan di dalam negeri. Namun, kalau dunia internasional belum memenuhi seruan kami, kami bisa kehilangan momentum untuk sebuah perubahan," kata Thauw kepada Jawa Pos di kantornya kemarin siang.
Dia menuturkan, kelompok perlawanan di dalam Myanmar sudah mulai kehabisan orang atau akal untuk bertindak. "Sejumlah pemimpin kami telah ditangkap. Sementara rakyat, tanpa pemimpin, takut bertindak. Mereka (rakyat Myanmar, Red) takut menjadi sasaran penangkapan pada malam hari," ucapnya.
Dari Yangon, tim Jawa Pos melaporkan, junta Myanmar terus menahan dan memeriksa mereka yang ikut dalam unjuk rasa. Kemarin media pemerintah The New Light of Myanmar menyebutkan, pihak berwajib menahan 78 orang yang mereka sebut sebagai "kaki tangan" penggerak kekacauan yang melanda Yangon pada 18-25 September lalu.
Di antara 78 orang yang ditahan itu, enam orang dibebaskan kemudian. Media yang menjadi corong junta militer tersebut menyebutkan, sekitar 2.700 orang, termasuk 533 biksu, yang ditahan pihak berwajib selama 10 hari belakangan ini. Di antara jumlah tersebut, 1.600 orang telah dibebaskan, termasuk 400 biksu.
Jumlah itu tidak bisa diverifikasi secara independen karena para penguasa militer Myanmar tidak mengizinkan lembaga independen menyelidiki tindakan kejam yang terjadi bulan lalu itu. Junta militer juga melarang petugas Palang Merah Internasional (ICRC) mengunjungi penjara di Myanmar selama sepuluh bulan terakhir.
Jawa Pos yang kemarin berkeliling Kota Yangon melihat situasi kota terbesar di Myanmar itu mulai normal. Penduduk Yangon beraktivitas seperti biasa, meskipun di beberapa pos penjagaan tentara masih bersiaga. Kondisi mencekam baru terlihat saat mendekati jam malam, pukul 22.00. Tentara mulai bermunculan di jalan-jalan dan memasang blokade.
Saat siang, penjagaan ketat terlihat di beberapa tempat yang menjadi tempat perlawanan terhadap junta militer, seperti kediaman Aung San Suu Kyi dan dua kampus, Yangon Technological University dan East Yangon University. Di rumah Suu Kyi, blokade dipasang mulai ujung Jalan Nya Yeiktha, yang jaraknya masih sekitar 1,5 kilometer dari rumah wanita simbol kelompok prodemokrasi di Myanmar itu. Perkuliahan di dua kampus di Myanmar tersebut juga dihentikan pemerintah sejak bentrok pecah pada 25 September.
Agar tidak menarik perhatian tentara yang berjaga di tempat itu, Jawa Pos mengenakan pakaian sehari-hari penduduk Myanmar, yakni baju katun dan sarung.
Penjagaan ketat juga terlihat di Penjara Insein. Jawa Pos yang ditemani pemandu warga Myanmar, Khwe Khwe, tak berhasil mendekati tempat yang menjadi penjara bagi ratusan aktivis dan biksu yang terlibat aksi menentang junta militer pekan lalu itu. Dari luar, Penjara Insein terlihat mengerikan. Seluruh tembok tebal yang mengelilinginya ditumbuhi lumut hijau. Jawa Pos butuh waktu 15 menit untuk mengelilingi penjara tersebut dengan mobil sewaan.
Menurut Khwe Khwe, yang mengaku pernah ditahan selama enam bulan di penjara terbesar di Myanmar itu, ada sekitar 9.000 narapidana di Insein. "Penjagaannya sangat ketat dan suasana di dalam sangat mengerikan. Setiap malam terdengar suara jeritan orang disiksa," ungkapnya.
Setelah memutari Yangon, Jawa Pos mencoba ke luar kota menuju Kota Thanlyen. Di kota yang berjarak sekitar 45 km dari Yangon itu, terdapat kantor Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai yang dipimpin Suu Kyi. Di perbatasan Yangon-Thanlyen, puluhan tentara dengan wajah angker memeriksa satu per satu orang yang keluar dan masuk Yangon.
Jawa Pos berdebar ketika akan diperiksa. Namun, atas saran Khwe-Khwe, sebelum banyak ditanya, Jawa Pos menyodorkan uang 500 kyat (Rp 40 ribu) saat seorang tentara mencoba memeriksa. Strategi "salam tempel" itu, ternyata, manjur. Tanpa perlu bertanya, tentara tersebut menyuruh sopir mobil yang disewa Jawa Pos melaju. Jurus serupa dilakukan Jawa Pos saat balik ke Yangon. Sekali lagi, tak ada pemeriksaan saat fulus disodorkan. (ap/bbc/*)
Laporan Tim Jawa Pos dari Myanmar
Sumber: Jawa Pos, 8/10/07
DK PBB Kecewakan Kelompok Oposisi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar