Saatnya ASEAN Bertindak Tegas!

Tajuk Rencana Harian Republika

Suasana di Myanmar hari-hari belakangan ini terus bergolak. Gerakan memprotes pemerintahan junta militer dibalas dengan aksi kekerasan yang meminta korban nyawa. Aksi protes dimulai sejak pekan lalu di mana para biksu turun ke jalan memprotes pemerintahan otoriter Myanmar.

Ribuan biksu turun ke jalan dan disambut dengan aksi kekerasan dan berondongan peluru oleh tentara. Para biksu dan pendukung demokrasi yang melakukan protes ditangkap. Negeri kecil yang berpenduduk sekitar 50 juta jiwa ini langsung menyita perhatian dunia. Bukan pujian, tetapi kecaman kepada pemerintah militer Myanmar yang brutal dalam menghadapi para pengunjuk rasa.

Sudah lama rakyat Myanmar berada di bawah rezim militer yang represif dan kejam. Tentara menikmati banyak fasilitas dengan alokasi anggaran paling besar dibanding anggaran untuk perbaikan kualitas hidup rakyat Myanmar yang umumnya miskin.

Belitan kesulitan hidup rakyat Myanmar kian tinggi setelah pemerintah menaikkan harga BBM hingga 500 persen. Rakyat kian tertekan dan mulai memberontak. Di tengah rasa frustrasi rakyat itulah, para biksu yang sangat dihormati rakyat Myanmar, memimpin aksi damai menentang junta militer. Apa daya, aksi damai pun dibalas dengan kekerasan dan desingan peluru oleh tentara.

Dunia tersentak dan mengecam. Pemerintah RI melalui Menlu Hassan Wirajuda meminta agar pemerintah militer Myanmar tidak menggunakan kekerasan dalam menghadapi para pengunjuk rasa. Menlu menegaskan bahwa cara-cara kekerasan hanya akan merugikan rakyat Myanmar.
Menurut Menlu, ASEAN pun akan merasa dirugikan dengan situasi yang terjadi di Myanmar. Sebagai salah satu negara anggota ASEAN, apa yang terjadi di Myanmar akan turut mencederai citra organisasi regional tersebut di mata internasional. Persoalannya, mampukah ASEAN memberikan kontribusi konstruktif dalam penyelesaian kasus Myanmar tersebut?

Jika ditilik ke belakang, masalah Myanmar sesungguhnya menjadi 'duri dalam daging' dalam tubuh ASEAN. Ketika Myanmar bersama-sama dengan Vietnam dan Kamboja masuk menjadi anggota ASEAN, tak sedikit yang mempertanyakan komitmen ASEAN dalam memperbaiki kehidupan demokrasi di Myanmar. Tetapi, dengan prinsip ASEAN yang tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggotanya, maka para pemimpin ASEAN lebih bersikap mengamati situasi di Myanmar, tanpa melakukan intervensi terlalu jauh dalam urusan politik dalam negeri Myanmar. Gerakan prodemokrasi di negeri para biksu itu pun akhirnya tak berharap banyak pada negara-negara ASEAN dalam memaksa agar junta militer Myanmar tidak berlaku represif.

Kini, situasi di Myanmar yang memburuk mestinya tidak bisa didiamkan saja oleh ASEAN. Ada sejumlah agenda penting yang harus dibahas ASEAN dalam upaya menekan junta militer Myanmar. Arus demokratisasi global yang menjunjung kebebasan berserikat dan jaminan hak asasi manusia harus menjadi ukuran bagi ASEAN dalam melihat kasus Myanmar.

Sudah saatnya ASEAN bertindak tegas atas pemerintah junta militer Myanmar. Duka rakyat Myanmar yang dilanda kemiskinan dan ketakutan, harus dijadikan ajang solidaritas rakyat ASEAN dalam mendukung gerakan prodemokrasi di sana. Tak ada kamus bagi ASEAN untuk 'sekadar' menjadi pengamat, tetapi harus proaktif dalam mendorong proses demokrasi lebih berjalan di negeri para biksu tersebut.

Tidak ada komentar: