Kutukan Keras dari Majelis Agama Buddha Theravada
Kekerasan yang terjadi di Myanmar tidak seharusnya dilakukan oleh manusia yang berbudaya sehingga harus dihentikan. Ketua Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia Cabang Kota Semarang, D. Henry Basuki, di Semarang, Ahad malam, mengatakan, apalagi di dalamnya terdapat para bhikkhu tidak sesuai diperlakukan dengan kasar, tetap harus mengutamakan sikap kemanusiaan yang baik. Ia mengatakan, dalam tradisi kehidupan umat Buddha, para bhikkhu yang menjalani hidup meninggalkan keduniawian (selibat brahmacari) ditempatkan sebagai kelompok masyarakat terhormat yang memelihara dharma agung Sang Buddha. "Bhikkhu merupakan guru bagi umat Buddha pada umumnya," katanya.
Dengan demikian, kata dia, anggota militer yang sebagian besar beragama Buddha di Myanmar sudah meninggalkan nilai luhur agama demi mempertahankan status quo kekuasaan. Kekerasan itu dengan menggunakan senjata untuk menghadapi protes rakyat. Oleh karena itu, Henry yang juga merupakan Pandita senior menganjurkan agar umat Buddha Indonesia memberikan simpati, bukan secara material saja, namun juga dukuangan moral.
Lepas dari permasalahan intern dalam negeri Myanmar, dukungan yang diberikan berupa simpati kepada korban akibat tindakan kasar dengan melaksanakan upacara pattidana (upacara bagi orang yang sudah meninggal) untuk korban yang gugur sebagai tindakan kekerasan tersebut, katanya. Berkaitan dengan hal tersebut, kata dia, di Vihara Candra Kinnara, Muktiharjo Kidul, Kota Semarang, Minggu malam (30/9) melaksanakan upacara pattidana yang diikuti umat Buddha setempat dan para pemuka agama Buddha Kota Semarang. antara/pur
Sumber: Republika, Minggu, 30/9/2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar