Menanti Peran ASEAN


Oleh YANI ANDRYANSJAH, Wartawan SINDO

PENOLAKAN sejumlah anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) terhadap rancangan resolusi untuk Myanmar membuat penyelesaian krisis negara yang dulu bernama Birma itu semakin sulit.

Dalam pemungutan suara di DK PBB pada pertengahan bulan ini, China dan Rusia—dua negara pemegang hak veto— menolak rancangan resolusi yang disponsori Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Amerika Latin.Tiga negara anggota tidak tetap menyatakan abstain, yakni Indonesia,Qatar,dan Kongo.Sementara anggota tidak tetap lain,Afrika Selatan, secara tegas menolak.

Semakin rumitnya mengurusi krisis Myanmar, sebenarnya sudah terlihat sejak awal tahun lalu. Ketika utusan khusus PBB untuk Myanmar, Razali Ismail, memutuskan untuk tidak memperpanjang tugasnya yang berakhir 3 Januari lalu.Keputusan ini diambil Razali lantaran ruang geraknya dibatasi. Padahal, selama bertugas di Myanmar selama 22 bulan, dia menjadi tokoh yang sangat berperan dalam mewujudkan perundingan bersejarah antara pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi dan pemerintah junta militer Myanmar pada 2000 silam.

Bahkan, Razali juga termasuk tokoh yang berjasa membebaskan Suu Kyi dari tahanan rumah pada 2002 dan kembali ditahan setahun berikutnya. Berdasarkan pengalaman mantan diplomat Malaysia ini, pemerintah junta militer Myanmar sejatinya menerapkan politik isolasi yang tidak ingin berhubungan dengan dunia luar. Ini pula yang membuat rezim militer Myanmar tidak pernah menggubris sedikit pun imbauan dunia internasional, termasuk ASEAN—wadah regional di mana Myanmar resmi menjadi anggota pada 1997.

Meski begitu, sebagian anggota ASEAN, termasuk Indonesia, melihat, dunia internasional masih memiliki jalan untuk mengatasi krisis Myanmar. Setidaknya, ASEAN bisa menjadi alternatif penyelesaian. Selain itu, usulan AS agar DK PBB bertindak melalui resolusi bukan juga sebuah jaminan proses demokratisasi dan penegakan HAM di Myanmar berjalan mulus. Bisa saja,di tangan junta militer,keadaan berbanding terbalik dengan anggapan sebagian kalangan yang menilai resolusi menjadi senjata ampuh untuk menekan pemerintah junta militer.

Di sinilah peran ASEAN dituntut untuk meyakinkan kembali Myanmar agar mempercayai dunia internasional, walau dalam beberapa kesempatan, sejumlah petinggi ASEAN sudah melontarkan kekesalannya terhadap pemerintah junta militer yang dianggap tuli terhadap desakan dunia internasional, termasuk ASEAN sendiri.

Setidaknya, satu hal bisa ditarik dalam perkembangan terakhir krisis Myanmar ini. Ialah tekanan-tekanan yang bersifat politik tingkat tinggi (high politics) lewat jalur diplomasi yang dilakukan ASEAN tidak mampu mengendurkan sistem represif yang diterapkan junta militer Myanmar,termasuk keterbukaan Myanmar menerima dunia internasional. Alternatif yang masih mungkin digunakan ASEAN adalah melalui isuisu yang bersifat low politics, seperti isu ekonomi.

Sebagai contoh, beranikah ASEAN untuk sementara mengurangi interaksi ekonomi dengan Myanmar, hingga negara itu mau membuka diri terhadap dunia internasional. Selama ini, Uni Eropa dan AS telah melakukan embargo ekonomi terhadap Myanmar. Praktis, Myanmar hanya bergantung pada rekan-rekan di Asia. Khususnya, India dan China. Persoalannya, beranikah ASEAN melakukan hal itu? Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN Ke-12 di Cebu, Filipina, beberapa waktu lalu,para pemimpin ASEAN sepakat membantu penyelesaian krisis di Myanmar.

Mereka mendesak agar Myanmar segera melakukan rekonsiliasi nasional dan mempraktikkan demokratisasi. ASEAN juga sepakat mempererat kerja sama untuk pemulihan keamanan dan krisis ekonomi dengan Myanmar. Berdasarkan poin ini, ASEAN telah melakukan sejumlah perjanjian ekonomi dan politik dengan Myanmar. Kesepakatan ini tampaknya disambut baik Pemerintah Myanmar.Perdana Menteri (PM) Myanmar Soe Win menerima dukungan yang diberikan ASEAN.

Akan tetapi, realisasi program ini masih bergantung pada keputusan pemerintah junta militer Myanmar. Sebab, ASEAN punya pengalaman mengenai komitmen pemerintah junta militer Myanmar pada 2005. Dalam KTT ASEAN di Kuala Lumpur saat itu, telah disepakati kunjungan utusan ASEAN— di bawah pimpinan Menlu Malaysia Syed Hamid Albar untuk mengamati kemajuan proses reformasi politik di Myanmar. Awalnya, pemerintah junta militer Myanmar sudah menyepakati kunjungan ini, tetapi tiba-tiba mereka menolak menerima delegasi ASEAN dengan alasan sedang sibuk memindahkan pusat ibu kota dari Yangon ke Pyinmana, 380 km utara Yangon.

Pengamat politik Thailand Dr Sunai Phasuk menilai, tidak konsistennya Myanmar ini menunjukkan tidak adanya kemauan junta militer Myanmar untuk bekerja sama dalam satu permasalahan yang menjadi keprihatinan, baik ASEAN maupun dunia internasional, tentang situasi politik dalam negeri Myanmar. Meski begitu, Indonesia tidak patah arang. Buktinya, Indonesia sepakat untuk menjalin kerja sama yang dituangkan dalam Joint Commission Indonesia- Myanmar yang rencananya akan direalisasikan Februari mendatang di Jakarta.

Kesepakatan ini diharapkan bisa menjadi alat untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia khususnya,ASEAN umumnya.Agenda pembicaraan kedua negara ini mencakup masalah ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Selain itu, masih ada komisi tiga negara Filipina, Ketua ASEAN saat ini, Singapura sebagai ketua ASEAN mendatang, dan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB. Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda menyebutkan, selama ini masalah Myanmar juga dibicarakan dalam lingkungan ASEAN.

Bahkan, Myanmar ikut menyampaikan laporan perkembangan proses demokratisasi. Dengan kata lain,ASEAN akan tetap melihat Myanmar sebagai keluarga.Jadi, tidak lagi dibatasi prinsip mencampuri atau dicampuri urusan dalam negeri anggota satu oleh anggota lainnya. Namun, sebagai anggota tidak tetap DK PBB dan sekaligus anggota ASEAN, Indonesia harus mempertimbangkan banyak hal terkait masalah Myanmar. Indonesia mempertimbangkan cara-cara efektif apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan kasus Myanmar.

Usulan Dwifungsi Militer

Sebagai jalan tengah untuk mengatasi krisis Myanmar, Indonesia sempat mengajukan usulan agar negeri itu mengusung konsep dwifungsi militer, seperti pernah dipraktikkan Orde Baru di Indonesia. Setidaknya, usulan itu disambut baik Perdana Menteri (PM) Myanmar Letjen Soe Win yang berjanji akan menyampaikan usulan itu kepada pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Than Shwe.

Usulan dwifungsi militer yang dimaksud Indonesia harus dilakukan secara bertahap lewat satu masa transisi di mana militer Myanmar berbagi peran dengan politisi sipil dalam menjalankan pemerintahan. Tentu, Pemerintah Myanmar harus bisa ”menyiapkan” masa transisi itu secara realistis.

Usulan ini sendiri untuk menjawab kelambanan roadmap demokrasi yang dijalankan Myanmar.Kelambanan inilah yang sempat membuat ASEAN dan PBB frustrasi. Paling tidak, usulan dwifungsi militer bisa menjadi pertimbangan bagi Myanmar untuk mencoba menerapkan pola yang pernah digunakan Indonesia dan terbukti bertahan hingga lebih dari 30 tahun.

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 21/01/2007

Tidak ada komentar: