Gembok Biara, Putus Internet

Delapan Tewas saat Militer Ciduk Biksu

Situasi Myanmar semakin tak menentu. Junta militer meningkatkan tekanannya kepada pengunjuk rasa. Mereka bertindak cepat membubarkan kerumunan massa di jalan-jalan sebelum sempat melakukan aksi.Para serdadu itu juga menduduki biara-biara Buddha yang diduga menjadi markas para pengunjuk rasa. Untuk menyembunyikan tindakan keras tersebut dari pantauan dunia internasional, junta militer memutus akses internet.

Saksi mata melaporkan, di Yangon, tidak kurang dari 2.000 orang yang berkerumun dibubarkan. Petugas keamanan mengeluarkan tembakan ke udara agar massa meninggalkan jalan-jalan utama. Mereka yang mencoba bertahan diseret, dinaikkan ke atas truk militer, dan dibawa pergi entah ke mana. Reuters melaporkan, polisi dan tentara menembaki kerumunan massa yang menolak meninggalkan jalan setelah diberi tenggat sampai sepuluh menit.

Petugas keamanan juga berusaha mencegah para biksu bergabung dengan warga sipil yang berunjuk rasa. Caranya dengan mengepung biara-biara Buddha. Junta militer mengumumkan lima biara Buddha paling besar sebagai "zona yang tidak boleh dikunjungi". Termasuk di antaranya Biara Shwedagon dan Sule, yang menjadi pusat aksi demo selama beberapa hari terakhir.Gerbang biara-biara dikunci dari luar. Digembok. Semua akses jalan menuju ke tempat suci itu diblokade dengan kawat berduri. Truk-truk bermuatan penuh tentara dengan perlengkapan untuk menghalau unjuk rasa menyerang biara-biara Buddha di luar kota Yangon. Mereka memukul dan menahan belasan biksu.Seorang pekerja sosial menyaksikan para serdadu itu juga memukuli para biksu yang sedang tidur. "Saya benar-benar benci pemerintah. Padahal, biksu-biksu itu tidak berbuat apa pun selain berdoa dan membantu warga," kata pekerja berusia 30 tahun yang mengaku melihat tindakan kasar tersebut dari tempatnya bekerja.Salah satu biara yang diserang itu berada di kota Okkalapa. Dari biara itu, serdadu menggelandang sekitar 100 biksu. Setidaknya delapan orang dilaporkan tewas ketika berusaha mencegah agar para biksu itu tidak dibawa pergi. Beberapa foto yang berhasil dikirim ke luar Myanmar menunjukkan genangan darah di sekitar biara.Seorang diplomat asing mengungkapkan bahwa junta militer Myanmar mengaku sudah berhasil mengendalikan para biksu. "Kami sekarang fokus untuk menangani pengunjuk rasa dari kalangan sipil," kata diplomat yang menolak disebutkan namanya, menirukan pernyataan resmi pemerintah Myanmar.Strategi yang diterapkan militer tersebut terbukti menyulitkan pengunjuk rasa dari warga sipil. Mereka harus kucing-kucingan dengan petugas keamanan agar bisa mendekat ke biara-biara.Menurut mereka, para biksu sudah menjalankan tugasnya dengan mengawali aksi unjuk rasa besar-besaran sejak 19 September lalu. "Kini kami harus melanjutkan gerakan ini," kata pemimpin aksi dari kalangan mahasiswa yang bergerak mendekati Pagoda Sule.Sementara para biksu dikepung petugas keamanan dan tentara, ribuan warga sipil kini menggantikan aksi mereka. Tidak jarang aksi itu diwarnai dengan lempar batu ke arah petugas keamanan. Ini berbeda dengan aksi para biksu yang berjalan damai.Di tempat terpisah, ratusan pengunjuk rasa berparade seraya menyangikan lagu kebangsaan Myanmar. Sementara ribuan orang di pinggir jalan mengelu-elukan.Putus Total Akses InformasiSemakin memburuknya situasi di dalam negeri membuat rezim yang berkuasa menutup akses informasi keluar dengan memutus jaringan internet. Mereka menilai prasarana itulah yang membuat citra buruk pemerintahan terekspos ke luar negeri. Pejabat telekomunikasi berdalih bahwa terjadi kerusakan kabel bawah laut. Pasukan keamanan juga merusak kamera dan telepon seluler, terutama yang dilengkapi dengan fasilitas kamera foto atau video. Siapa pun yang terlihat membawa peranti komunikasi itu langsung dipukul. BBC melaporkan, sinyal telepon seluler di Myanmar diacak. Polisi merazia mereka yang membawa kamera dan telepon seluler.Di awal aksi, pemerintah hanya memutuskan saluran telepon para pemimpin mahasiswa. Selanjutnya, telepon para politikus oposisi. Ketika para biksu ikut turun ke jalan, saluran telepon ke biara pun diputus.Wartawan BBC di Bangkok Chris Hogg melaporkan bahwa hotel tempat menginap wartawan asing di Yangon dikepung dan digeledah.Beberapa kantor penerbitan di negeri itu sudah tutup dan tidak lagi beroperasi. Kecuali media yang dikendalikan pemerintah.Salah satu media pemerintah, The Light of Myanmar, menurunkan berita yang menuding media asing sebagai pihak yang memperburuk situasi. "Sabotase berasal dari dalam dan luar negeri. Media asing iri dengan perdamaian dan perkembangan bangsa ini," tulis media tersebut.Televisi berbahasa Inggris milik pemerintah MRTV-3 melaporkan adanya warga sipil yang diancam dan dipaksa ikut berunjuk rasa. Seorang presenternya mengungkapkan bahwa BBC dan Voice of America menyiarkan "selangit penuh kebohongan". "Awas penghancur, BBC dan VOA," kata presenter lainnya.Dengan berbagai upaya menghentikan arus informasi seperti itu, berbagai data terkait korban dan kerusuhan tidak bisa dikonfirmasikan. Tidak seorang pun pejabat pemerintah yang bersedia dimintai keterangan.(bbc/afp/reuters)
Sumber: Jawa Pos, Sabtu (29 Sept 2007

Tidak ada komentar: